MAKASSAR, LINKSATUSULSEL.COM–Capek berkelahi, Tidak ada yang menang, yang ada hanya luka dan penjara. Sekarang saatnya cari kerja, cari masa depan.” Kalimat sederhana dari seorang tokoh pemuda dalam rekonsiliasi Tallo–Bontoala itu terasa lebih kuat daripada ribuan himbauan. Karena di balik kalimat itu, tersimpan jeritan generasi yang jenuh hidup dalam lingkaran konflik turun-temurun.
Makmur Idrus menjelaskan dalam tulisannya bahwa kita semua tahu, Tallo dan Bontoala sudah lama menjadi epicentrum perang kelompok di Makassar. Bentrokan demi bentrokan tak jarang diwariskan dari kakak ke adik, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lorong-lorong sempit di dua kecamatan ini lebih sering menjadi arena perang daripada ruang bermain. Batu, busur, dan parang seakan lebih akrab daripada buku sekolah dan alat kerja. Potret ini bukan sekadar masalah kriminal, tapi luka sosial yang mencoreng wajah kota.
Karena itu, langkah Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin patut diapresiasi. Ia tidak hanya memimpin rekonsiliasi simbolik, tetapi juga menawarkan jalan keluar yang lebih konkret: pelatihan keterampilan seperti barista, mekanik, dan menjahit; kegiatan olahraga untuk menyalurkan energi muda; pemberdayaan ibu rumah tangga; hingga rencana pembentukan Creative Hub sebagai wadah kreatif anak muda Tallo dan Bontoala,” kata Makmur Selasa 30/9/2025
Dia pun menerangkan dengan rekonsiliasi yang melibatkan tokoh pemuda dari kedua belah pihak adalah terobosan penting. Mereka inilah aktor utama di lapangan, mereka yang bisa menggerakkan teman-temannya. Ketika pemuda bersedia duduk bersama, berbicara dari hati ke hati, dan mulai merancang masa depan bersama, maka api permusuhan bisa dipadamkan dari dalam. Suara “capek berkelahi” adalah tanda bahwa generasi muda sebenarnya sudah ingin keluar dari lingkaran dendam, asalkan diberi ruang baru.
Teori konflik memberi gambaran jelas. Johan Galtung membedakan negative peace—damai semu, sekadar berhenti berkelahi—dan positive peace—damai sejati yang disertai keadilan sosial. Selama ini, damai di Makassar cenderung berhenti pada negative peace: jabat tangan, foto bersama, lalu seminggu kemudian bentrokan meledak lagi. Yang dibutuhkan Tallo dan Bontoala adalah positive peace melalui transformasi sosial: membuka lapangan kerja, memperkuat pendidikan, membangun jembatan sosial, dan memberi masa depan bagi pemuda.
Wali Kota sudah menyalakan api awal transformasi ini,” sambung dia dalam tulisannya
Namun fenomena tersebut di ungkapkan api itu hanya akan bertahan jika dijaga bersama: pemerintah, aparat, tokoh agama, keluarga, hingga masyarakat. Program yang dijanjikan tidak boleh berhenti di atas kertas. Harus benar-benar hadir di lorong-lorong, menyentuh langsung kehidupan pemuda yang selama ini terjebak dalam budaya konflik.
Makassar terlalu besar untuk terus dipenjara stigma sebagai “kota tawuran.” Jika Tallo dan Bontoala yang selama ini menjadi epicentrum konflik berhasil ditransformasi, maka seluruh kota akan ikut berubah. Rekonsiliasi ini harus dicatat bukan sebagai seremoni, melainkan sebagai titik balik sejarah: dari lorong konflik menuju lorong harapan, dari energi destruktif menjadi energi kreatif, dari dendam menjadi peradaban,” pungkasnya
Penulus : Oleh Makmur Idrus
Editor : Moko












